Oleh : Jamal Aslan
Belakangan ini, dugaan tindak pidana korupsi kembali
menyelimuti Pemkot Kendari. Tidak main-main, pejabat yang diduga melakukan
tindak pidana tersebut bahkan menyasar Sekda Pemkot (diwaktu tersebut) berserta
beberapa struktur jabatan lain. Dilangsir dari beberapa pemberitaan media, Kejaksaan Negeri
(Kejari) Kendari menetapkan tiga Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai tersangka
dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi di bagian umum sekretariat pemerintah
kota (Pemkot) Kendari pada tahun anggaran 2020. Anggaran yang diduga dikorupsi
itu yakni belanja Uang Persediaan (UP), Ganti Uang Persediaan (GUP), Tambah
Uang Persediaan (TUP), dan belanja Langsung (LS). Terdapat lima item kegiatan
yang terindikasi dikorupsi dalam perkara ini meliputi penyediaan jasa komunikasi
dan listrik, cetakan dan penggandaan, makanan dan minuman, pemeliharaan
kendaraan dinas, serta perizinan kendaraan operasional. Akumulasi total
kerugian keuangan negara ditaksir mencapai Rp 444 juta lebih. Dugaan kerugiaan
keuangan negara itu didasarkan pada hasil audit BPKP Sulawesi Tenggara
sekaligus dianggap sebagai nyata penyimpangan terhadap anggaran belanja public.
Mencermati
rangkaian kasus ini, tulisan ini tidak dalam hal mengungkap keterpenuhan unsur
delik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan. Tidak lain sikap ini didasarkan pada wujud penghormatan
kepada rangkaian proses penegakan hukum yang tengah berjalan. Tidak pula dalam
konteks untuk mengungkap secara sistematis rangkaian analisis terhadap terbukti
atau tidaknya dugaan dimaksud. Namun, substansi tulisan ini seperti kembali
membuka ruang perbedaan pendapat perihal hasil audit terhadap kerugian keuangan
negara yang selalu dijadikan sebagai tolak ukur atau bahkan menjadi sebagai
salah satu bukti permulaan dalam hal menduga terjadinya tidak pidana korupsi.
Hal penting menjadi mengingat dalam perspektif konstitusionalitas, terdapat
Lembaga negara yang secara ekslusif diilustrasikan sebagai Lembaga yang
memiliki kompetensi untuk melakukan fungsi moniroting pada pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara. Pasal 22E ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 bahkan
mendeskripsikan Lembaga tersebut sebagai institusi yang bersifat mandiri dan
bebas. Telaah pada tulisan ini ialah untuk menakar seharusnya proses perhitungan
dan declare kerugian keuangan negara sebagai sebuah rangkaian sistematis
dari tanggungjawab serta pemeriksaan terhadap keseluruhan pengelolaan keuangan
negara sepatutnya disematkan pada keberadaan Lembaga yang mana, mengingat
secara praktik ditemukan terdapat beberapa state organ yang hasil auditnya seringkali dijadikan
rujukan dalam mengukur kerugian keuangan negara tersebut.
Menyelami Makna “Kerugian Keuangan Negara” dalam Peta Tindak Pidana Korupsi
Butuh
pendekatan yang singkronisatif untuk dapat mengetahui substansi dari kerugian
keuangan negara dalam pusaran tindak pidana korupsi. Dari proposisi delik
materil dan formil, kerugian keuangan negara dicacah lebih kompleks secara
historis. Secara normative, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara
memperkenalkan pendekatan identifikasi kerugian keuangan negara yang lebih
kontekstual, terperinci, dan mudah dipahami. Dalam Pasal 1 angka (22)
ditegaskan bahwa:
“Kerugian
negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata
dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun
lalai.”
Konstruksi
ketentuan tersebut menegaskan bahwa kerugian negara dikategorikan sebagai delik
materil: suatu perbuatan baru bisa dianggap merugikan keuangan negara jika kerugian
itu benar-benar terjadi secara nyata. Dengan kata lain, kerugian tersebut harus
sudah terjadi terlebih dahulu dan besaran maupun dampaknya terhadap keuangan
negara dapat diukur secara pasti—baik dari segi jumlah maupun nilai nominal.
Karakteristik kerugiaan
keuangan negara tersebut menjadi agak lain jika ditelaah dengan menggunakan
pendekatan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang Undang
Nomor 20 Tahun 2001 yang menguraikan bahwa
“Setiap orang
yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugiakan keuangan negara atau
perekonomian negara dipidana.”
Rumusan
ketentuan aquo mengkompositkan kerugian negara sebagai delik formil.
Frasa “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara” menunjukkan bahwa
tindak pidana korupsi sudah dianggap selesai begitu unsur-unsur perbuatan
terpenuhi tanpa harus menunggu kerugian faktual. Penegasan ini diperkuat oleh
Penjelasan Umum UU No. 31/1999, yang menyatakan bahwa meski hasil korupsi
dikembalikan, pelaku tetap dapat diadili dan dihukum sebagai mana uraian R. Wiyono, Dalam konteks tersebut,
unsur “dapat merugikan keuangan negara” berperan sebagai bestanddelict,
yang dibuktikan melalui audit untuk menilai potensi kerugian yang nyata dan
terukur.
Memungkasi
pergeseran tersebut, Mahkamah
Konstitusi, dalam Putusan No. 25/PUU-XIV/2016, memperlihatkan betapa
kehadiran UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan menggeser paradigma
“dapat merugikan keuangan negara” dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) UU
Tipikor. Sebelumnya, melalui Putusan MK
003/PUU-IV/2006, kata “dapat” dipahami sebagai kemungkinan (potential loss)
yang cukup untuk menjerat seseorang atas tindak pidana korupsi—tanpa menunggu
bukti kerugian nyata. Namun, setelah lahirnya UU Administrasi Pemerintahan,
kerugian akibat kesalahan administratif tidak lagi masuk kualifikasi korupsi;
sebaliknya, unsur kerugian negara kini baru terpenuhi jika ada perbuatan
melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan yang benar-benar menimbulkan
kerugian riil (actual loss)—kecuali dalam kasus suap, gratifikasi, dan
pemerasan—serta pelaku diuntungkan secara melawan hukum, masyarakat dirugikan,
dan tindakan tersebut tercela. Akibatnya, frasa “dapat merugikan keuangan
negara” berubah dari delik formil menjadi delik materil: MK menyatakan “dapat”
dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak lagi mengikat secara hukum. Sebelum putusan ini, istilah “dapat” sering
diselewengkan untuk menjangkau kebijakan diskresi mendesak tanpa landasan hukum
yang jelas, sehingga menimbulkan kriminalisasi kebijakan dan kebingungan mulai
dari metode perhitungan kerugian hingga penentuan lembaga auditor. Kini, untuk
menegakkan asas kejelasan hukum dan keadilan, unsur kerugian negara harus
bersifat nyata, pasti, dan terukur sebelum dijadikan dasar penuntutan tindak
pidana korupsi.
Jika diringkas, unsur kerugian, baik dari sisi keuangan negara maupun perekonomian negara terpadu dalam tiga aspek: pertama, terjadi pengurangan aset negara, baik berupa dana maupun barang, yang nilai dan volumenya menyusut dari kondisi semestinya. kedua, pengurangan tersebut harus bersifat nyata dan terukur yaitu telah terbukti secara faktual dan dapat dihitung dengan presisi menggunakan metode serta sistem perhitungan yang diakui secara hukum. Ketiga, hilangnya nilai tersebut merupakan akibat langsung dari perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun karena kelalaian—sehingga dalam jalannya persidangan unsur ini wajib dibuktikan dengan jelas sesuai prinsip-prinsip pembuktian dalam hukum acara.
Mengumumkan Kerugian Keuangan Negara; BPK atau BPKP
Setelah
merumuskan elemen kerugian negara dan perekonomian negara dengan secara
singkat, perhatian kini beralih pada peta kompetensi kelembagaan serta kerangka
hukum yang menegaskan pelaksanaan tugas tersebut men-declare keadaan
tersebut. Dalam praktik penanganan korupsi, terdapat beberapa lembaga sering
dirujuk untuk menentukan terpenuhinya termasuk besaran kerugian keuangan negara
dan perekonomian negara tersebut. Namun pilihan antara BPK atau BPKP sering
berubah menjadi ajang perdebatan tersendiri. Ketegangan ini mencerminkan
perbedaan mendasar antara organ konstitusional independen dan aparat pengawasan
internal, sekaligus menegaskan perlunya pendekatan sistemik untuk menemukan
sikap keyakinan hukum yang tepat perihal lembaga mana yang berhak mengungkap
penetapan kerugian negara. Jika ditakar secara struktur, baik BPK maupun BPKP similar
dalam keberadaanya sebagai state organ yang dilekatkan fungsi dan
wewenang yang berbeda. Olehnya, untuk menemukan kontekstualitas dari
implementasi fungsi dan wewenang kelembagaan (khususnya dalam mengungumkan
kerugian keuangan atau perekonomian negara), maka perlu kedua Lembaga ini
didekati secara analitik.
Perspektif
pertama yang digunakan ialah perihal konstruksi kelembagaan antar kedua state
organ tersebut. Dalam telaahnya, BPK memenuhi karakteristik sebagai Lembaga
negara independent. Maksudnya adalah BPK ditempatkan sebagai Lembaga negara
yang berada diluar cabang kekuasaan konvensional. Konsep ini setidaknya dapat
ditelusuri dari doktrin Bruce Ackerman yang menjelaskan bahwa dalam sudut
pandang The New Separation of Power (Pemisahan Kekuasaan Baru) dengan
membagi kekuasaan menjadi lima bagian yaitu, (1) cabang kekuasaan House of
Representatives, (2) Senate, (3) President, (4) Supreme Court,
dan (5) cabang kekuasaan Independent Agencies (Komisi Negara
Independent). Cristoph Moller bahkan lebih detil mengutaikan bahwa lembaga
negara independen sebagai “such agencies do not fit within any classic model
of separated powers. Consequently, they are often seen as a fourth branch that
unites all three powers under one roof”. Secara konkret, lembaga negara
independen menampilkan sejumlah ciri khas yang membedakannya dari organ pemerintahan
biasa. Lembaga ini beroperasi dengan otonomi penuh dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya, tanpa campur tangan atau pengawasan langsung dari cabang eksekutif
manapun. Mekanisme pengangkatan dan pemberhentian pimpinan diatur secara ketat
oleh ketentuan tersendiri, bukan semata atas keputusan presiden dan keseluruhan
jabatan itu bersifat definitif, berakhir serentak setelah masa bakti dan hanya
dapat diperpanjang satu kali. Selain itu, pemimpin lembaga independen
dipastikan bukan berasal dari partai politik, sehingga menjamin sikap
nonpartisan dalam setiap kebijakan. Keseluruhan karakter ini dirancang agar
lembaga independen mampu menyeimbangkan perwakilan dan menjaga akuntabilitas
vertikal maupun horizontal dalam penyelenggaraan negara . konkritisasi tersebut semakin jelas ketika diproyeksi
berdasarkan rumusan Pasal
23 E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menjelaskan:
“Untuk
memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan negara diadakan suatu
Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”
Ketentuan
tersebut dengan tegas menjelaskan status otonom BPK sebagai lembaga yang
berdiri sendiri, terlepas dari cabang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif,
melalui penegasan kata “mandiri”. Penempatan BPK secara eksplisit dalam UUD
1945 berdasarkan prinisp titulus est lex, rubrica est lex pada bab
tersendiri semakin mengokohkan kemandiriannya. Sebagai organ lex specialis,
BPK berfokus pada fungsi examinative, yaitu memeriksa pengelolaan keuangan
negara. Ruang lingkup pemeriksaan BPK menjadi kunci terciptanya tata kelola
keuangan negara dan daerah yang tertib, dengan kewenangan untuk menilai dan
memastikan bahwa setiap pejabat pengelola keuangan menjalankan tugasnya sesuai
prinsip-prinsip dasar dan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, fungsi
kelembagaan yang terejawantah dalam keberadaan BPK juga dapat dilualifikasi
sebagai state ordinary funtie. Hal ini didasarkan pada fungsi utama yang
disematkan kepada BPK yang sejatinya secara konstituional tidak ditemukan pada
Lembaga lainya.
Bahkan dari segi
pendalaman terhadap kualitas kewenanganya, BPK semakin diatas angin. Merujuk
pada pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan
Pemeriksa Keuangan (selanjutnya disebut Undang-Undang BPK) dijelaskan bahwa:
“BPK menilai
dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan
melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara,
pengelola Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau
badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”
Ketentuan ini
menegaskan adanya kompetensi untuk membuat suatu produk hukum dalam hal menilai
terjadinya kerugian keuangan negara yang melekat kepada BPK yang digambarkan
melalui korespondensi frasa “menetapkan”. Jika didalami dari sumber atau
alur administrative, maka fungsi untuk menetapkan nilai kerugian keuangan
negara tersebut bersifat atribusi. Dengan demikian, dengan berdasarkan pada
karakteristik kelembagaan, fungsi dan sifat kewenangan seharusnya penetapan BPK
yang dijadikan rujukan yuridis dalam menentukan terpenuhinya kerugian keuangan
negara dalam konteks tertib hukum ius constitutum.
Selanjutnya,
bagaimana dengan BPKP? Agar aqual pendekatan untuk menelaah BPK diatas akan
juga digunakan terhadap keberadaan BPKP. Sejak awal, akar BPKP tertanam dalam
Besluit No. 44 tanggal 31 Oktober 1936 yang mendirikan Djawatan Akuntan Negara
(Regering Accountantsdienst) di bawah Departemen Keuangan, bertugas menelaah
pembukuan berbagai jawatan dan perusahaan negara. Pada 1959–1966, lembaga ini
bertransformasi menjadi Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara (DJPKN)
sebagai Unit Eselon I di Kementerian Keuangan, lalu mengalami penyempurnaan
susunan kelembagaan hingga awal 1970-an. Puncaknya, Keputusan Presiden No.
31/1983 tanggal 30 Mei 1983 mengubah DJPKN menjadi Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP), sebuah Lembaga Pemerintah Non-Departemen yang langsung
bertanggung jawab kepada Presiden. Keppres tersebut menjadikan BPKP sebagai
ujung tombak pengawasan keuangan dan pembangunan negara sesuai ketentuan
perundang-undangan, sekaligus menegaskan posisinya sebagai bagian integral dari
fungsi eksekutif melalui mekanisme koordinasi pertanggungjawaban kepada
Presiden. Urutan stuktural ini dipertegas melalui pembentukan Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 Tentang Sitem Pengendalian Intern Pemerintahan.
Pasal 1 ayat (4) menguraikan bahwa:
“Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, yang selanjutnya disingkat BPKP, adalah
aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada
Presiden”
Secara lex
specialis, keberadaan BKPK pada Peraturan aquo disebutkan sebanyak 8
(delapan kali) dengan rincian 6 (enam) pasal berisi pengaturan, 1 (satu) pasal
tentang ketentuan umum dan 1 (satu) redaksi penjelasan. Rumusan Pasal-Pasal
tersebut antara lain:
1)
Pasal
a ayat (4) yang menjelaskan bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan fungsi BPKP
kepada presiden;
2)
Pasal
49 ayat (1) yang berbunyi sebagai beriku:
Aparat
pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1)
terdiri atas:
a.
BPKP;
b. Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara
fungsional melaksanakan pengawasan intern;
c.
Inspektorat Provinsi; dan
d.
Inspektorat
Kabupaten/Kota.
Selain
itu, ruang lingkup dari pengawasan intern yang dijalankan oleh BPKP yang
tersusun dalam redaksi sebagai berikut:
“BPKP
melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas
kegiatan tertentu yang meliputi:
a)
kegiatan yang bersifat lintas
sektoral;
b)
kegiatan kebendaharaan umum negara
berdasarkan penetapan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara; dan
c)
kegiatan lain berdasarkan penugasan
dari Presiden.
Pada aspek yang lainya
ditegaskan bahwa secara kelembagaan BPKP ditempatkan sebagai ujung tombak
pengawasan internal pemerintahan. Posisi organisasinya yang berada di bawah
wewenang eksekutif mencerminkan perannya sebagai satuan subordinat, dirancang
untuk memastikan pengelolaan dan pelaksanaan kebijakan keuangan dilakukan
secara optimal dan terfokus. Oleh karenanya, BPKP hanya berwenang menjalankan
prosedur audit yang relevan dengan mandat utamanya. Bukti konfirmasinya
terlihat ketika setiap laporan hasil audit BPKP disalurkan kepada pimpinan
instansi, Menteri Keuangan, dan Presiden—suatu mekanisme distribusi yang tidak
hanya menegaskan subordinasi kelembagaannya, tetapi juga menandai bahwa siklus
tugas BPKP baru dianggap lengkap setelah laporan tersebut diterima oleh para
pemangku jabatan tertinggi sesuai hierarki. penegasan kedudukan BPKP yang berada
dibawah naungan serta melakukan fungsi pengawasan pemerintahan dalam arti
sempit juga ditemukan dalam rumusam pasal 1 ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 192 Tahun 2014 Tentang Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan. Ketentuan aquo menjelaskan bahwa;
1)
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan,
selanjutnya disingkat BPKP, merupakan aparat pengawasan intern pemerintah.
2) BPKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Bahkan dalam alas yuridis lainya, Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 dengan tegas menetapkan bahwa hanya Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memiliki kewenangan konstitusional untuk
menyatakan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara, sedangkan institusi lain
seperti BPKP, inspektorat, atau SKPD hanya berhak melakukan pemeriksaan dan
audit tanpa kewenangan deklaratif, kecuali hakim yang boleh menilai kerugian
berdasarkan fakta persidangan. Namun dalam praktiknya, BPKP kerap pula diminta
menetapkan kerugian, sehingga muncul dua persoalan: pertama, jika lembaga
non-BPK menyatakan tidak ada kerugian meski audit lain menunjukkan sebaliknya,
hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum; kedua, kerugian yang mudah dibuktikan
seharusnya tidak selalu memerlukan intervensi BPK. Menurut penelitian dalam Halu
Oleo Legal Research, BPKP yang menetapkan kerugian dalam perkara korupsi
sebenarnya melampaui batas konstitusional pemisahan kekuasaan, mengancam sendi
negara hukum Pancasila. Ketidakjelasan regulasi tentang lembaga deklaratif ini
menciptakan standar ganda, karena polisi dan jaksa dapat memilih antara BPK dan
BPKP—dua entitas dengan metodologi dan prinsip audit berbeda yang membuka celah
bagi permainan dalam penanganan tindak pidana korupsi.
Dalam terminology sistematis
yang lebih luas, terpenuhinya unsur kerugian keuangan negara, aparat penegak
hukum harus menempatkan setiap lembaga pada fungsi dan kewenangannya yang
seharusnya. Secara konstitusional, hanya BPK yang memegang otoritas tertinggi
untuk secara resmi “menyatakan” adanya kerugian tersebut. Sementara BPKP dan
unit lain memang dapat melakukan audit atas indikasi kerugian, hasil temuannya
mesti dipahami sebagai langkah internal review—bukan keputusan deklaratif
akhir. Kerangka ini diperjelas oleh Pasal 28 huruf e Peraturan Presiden Nomor 192
Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang menyatakan:
“pelaksanaan audit atas penyesuaian harga, audit
klaim dan audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi
merugikan keuangan negara, audit penghitungan kerugian keuangan negara, dan
pemberian keterangan ahli pada instansi pusat dan daerah, dan/atau kegiatan
lain yang seluruh atau sebagian keuangannya dibiayai oleh anggaran negara
dan/atau subsidi termasuk badan usaha dan badan lainnya yang didalamnya terdapat
kepentingan keuangan atau kepentingan lain dari Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintah Daerah, serta upaya pencegahan korupsi”;
Olehnya, Sebagai kesimpulan, temuan audit
BPKP sejatinya hanya berfungsi sebagai sinyal awal bukan keputusan final
mengenai indikasi kerugian keuangan negara. Selanjutnya, seluruh laporan
tersebut wajib diserahkan kepada BPK untuk dilakukan verifikasi mendalam dan,
dengan otoritas konstitusionalnya, menetapkan secara resmi besaran kerugian
sesuai ketentuan perundang-undangan. Proses berjenjang ini menjamin konsistensi
penegakan hukum dan menegaskan pembagian peran antara pengawasan internal
(BPKP) dan deklarasi definitif (BPK) dalam kerangka negara hukum Indonesia. (*)
0Komentar