OPINI            
Oleh :  Jamal Aslan



Mengayah peranan dan kongruensi keberadaan Mahakamah Agung secara kelembagaan yang disematkan kompetensi judicial legality review tidak ujug-ujug muncul dalam dialektikan hubungan hukum negara dan pemenuhan kewajiban terhadap warga negara. Dalam konteks fenomena Judicialization of Politics peran lembaga peradilan kini telah melampaui fungsi tradisionalnya sebagai “pemecah” sengketa semata dan menjelma menjadi aktor politik yang kian berpengaruh. Judicialization of Politics menggambarkan proses di mana pengadilan khususnya Mahkamah Agung turut menentukan arah kebijakan publik melalui pengujian substantif dan formil terhadap peraturan perundang-undangan. Dalam kerangka ini Mahkamah Agung berperan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang memiliki instrument wewenang untuk menjaga supremasi legalistik sebagaimana tercermin dalam prinsip superioritas iuris: lex magna repudiat leges minores. Melalui judicial review lembaga ini memastikan bahwa kebijakan yang diambil oleh lembaga legislatif dan eksekutif tidak menyimpang dari norma konstitusional dan prinsip legalitas secara berkeseuaian. Dengan demikian, judicial review merupakan instrumen penting yang menjembatani praktik politik dengan prinsip-prinsip negara hukum dan perlindungan hak asasi. Selain itu, dalam semangat keadilan, kita juga harus mengingat bahwa justitia exsequenda est, etiam si omnia labuntur—artinya keadilan harus ditegakkan walaupun segala sesuatu runtuh.

Secara kelembagaan, Mahkamah Agung merupakan puncak sistem peradilan di Indonesia yang memiliki wewenang untuk menguji peraturan perundang-undangan melalui mekanisme uji materiil. Struktur kelembagaannya yang komprehensif mencakup pengawasan atas peradilan di tingkat yang lebih rendah, sehingga berfungsi sebagai penjaga utama dalam menegakkan keadilan dan kepastian hukum. Dalam menjalankan fungsi judicial review, MA tidak hanya menilai aspek formal pembentukan peraturan, melainkan juga mengkaji substansi materiilnya agar tidak bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi, terutama Undang-Undang Dasar 1945. Dengan prinsip tersebut, MA bertindak sebagai lembaga final yang menjamin integritas sistem hukum, sehingga setiap kebijakan publik harus memenuhi standar tertinggi demi kesejahteraan bersama.

Filosofi judicial legality review yang dijalankan oleh Mahkamah Agung didasarkan pada prinsip kejelasan, konsistensi, dan transparansi dalam pembentukan hukum. Pendekatan ini sejalan dengan teori internal morality of law yang dikemukakan oleh Lon Fuller dalam buku The Morality of Law, di mana setiap peraturan harus diproses secara adil dan dapat dipahami oleh masyarakat. Dalam konteks ini, MA memastikan bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibawa undang-undang yang diuji tidak hanya memenuhi persyaratan formal, tetapi juga substansi normatifnya. Hal ini merupakan refleksi dari komitmen konstitusionalisme yang menuntut agar setiap tindakan negara memiliki dasar hukum yang kokoh demi perlindungan hak asasi, termasuk hak atas lingkungan yang berkualitas. Dengan demikian, judicial legality review menjadi landasan untuk menilai keabsahan dan efektivitas peraturan dalam melindungi kepentingan publik.

Jenis putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Agung dalam menjalankan fungsi judicial review umumnya bersifat final, mengikat, dan memiliki muatan konstitusional dan legalitas yang substansial. Putusan tersebut bisa berupa deklarasi tidak sahnya peraturan apabila terbukti bertentangan dengan perundangan superior, atau penegasan bahwa peraturan tersebut harus diperbaiki agar memenuhi standar legalisitik yang layak. Dalam hal ini, MA berperan sebagai alat korektif yang memastikan bahwa setiap kebijakan publik tidak menyimpang dari prinsip-prinsip keadilan dan keberlanjutan. Proses pengambilan keputusan ini didasari oleh semangat bahwa "omnes partes debent aequaliter audiri", yang menuntut agar semua pihak didengar secara setara sebelum keputusan final diambil. Dengan demikian, jenis putusan ini tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga mengandung implikasi praktis bagi tata kelola negara.

Dari perspektif teoretis, Judicialization of Politics menegaskan bahwa peradilan semakin menjadi arena politik di mana keputusan hukum memiliki dampak langsung terhadap pembuatan kebijakan publik. Mahkamah Agung, sebagai institusi tertinggi, mengambil peran penting dalam proses ini dengan mengintervensi kebijakan yang dianggap tidak memenuhi standar konstitusional. Dengan demikian, judicial review tidak hanya sekadar instrumen legal, melainkan juga alat demokrasi untuk mengoreksi kegagalan politik dalam mewujudkan keadilan dan perlindungan hak masyarakat. Pendekatan ini mengukuhkan posisi pengadilan sebagai pelindung konstitusi dan hak asasi, serta memastikan bahwa setiap kebijakan publik memiliki legitimasi dan konsistensi dengan norma hukum tertinggi. Secara keseluruhan, keberadaan Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi dalam anatomi judicial review memainkan peran strategis dalam menegakkan agenda konstitusionalisme dan perlindungan hak asasi manusia, khususnya dalam konteks kualitas lingkungan. Fungsi judicial review yang dialirkan menggabungkan filosofi internal morality of law, legal realism, konstitusionalisme ekologis, dan demokrasi deliberatif. Dengan demikian, putusan MA tidak hanya memeriksa legalitas formal peraturan, tetapi juga menguji substansi normatifnya demi memastikan bahwa kebijakan publik sesuai dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan. Penggantian asas yang sebelumnya dikenal, seperti lex superior derogat legi inferiori dengan "principium superioritatis iuris: lex magna repudiat leges minores", fiat justitia, ruat caelum dengan "justitia exsequenda est, etiam si omnia labuntur", dan audi alteram partem dengan "omnes partes debent aequaliter audiri" akan memperkaya pemahaman kita tentang dasar normatif yang harus mendasari setiap keputusan pengadilan. Dengan demikian, peran Mahkamah Agung dalam judicial review menjadi tonggak penting dalam memastikan bahwa negara hukum benar-benar menjamin perlindungan hak masyarakat dan kualitas lingkungan demi terwujudnya tata kelola pemerintahan yang responsif, akuntabel, dan berkeadilan.

Dilain sisi Perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak atas lingkungan yang sehat, menjadi salah satu fokus utama dalam judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Konstitusionalisme ekologis, sebagaimana diuraikan dalam literatur The Green Constitution: Ecological Constitutionalism in Comparative Perspective, menekankan bahwa kualitas lingkungan merupakan bagian integral dari hak asasi manusia. Melalui pengujian materiil, MA berupaya memastikan bahwa peraturan daerah tidak mengorbankan lingkungan demi kepentingan ekonomi jangka pendek, sehingga memberikan perlindungan terhadap warisan alam bagi generasi mendatang. Pendekatan ini menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi sumber daya alam sebagai bagian dari tanggung jawabnya terhadap masyarakat. Dengan demikian, putusan MA berfungsi sebagai mekanisme pengaman bagi hak lingkungan dalam kerangka negara hukum.

Olehnya menarik untuk mengurai sengkarut giat pertambangan di Kabupaten Konawe Kepulauan pasca adanya dua putuan Mahakamah Agung Nomor 14/P/HUM/2023 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 57 P/HUM/2022. Ajakan jauh lebih menarik jika perspektif analisisnya ditekankan pada filpsofi keberadaan hukum dalam geliat pertambangan di pulau tersebut yang kini kian masih memunculkan sejumlah kontroversi yang perlu didudukan dalam kerangka teoretik nan sistematik.


Menjiwai Putusan Mahkamah Agung Nomor 14/P/HUM/2023

Putusan ini mengungkapkan substansi perkara yang mendasar, yaitu pengalokasian kawasan hutan produksi untuk kegiatan pertambangan yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip perlindungan alam dan keadilan tata ruang. Setiap regulasi seharusnya berpijak pada hierarki peraturan perundang-undangan, sebagaimana ditegaskan dalam prinsip lex superior derogate legi inferiori yang juga dijelaskan dalam buku Pure Theory of Law karya Hans Kelsen. Dengan demikian, norma tertinggi dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan undang-undang yang lebih tinggi harus dijadikan acuan dalam pembentukan peraturan daerah. Dalam perkara ini, Pemohon berargumen bahwa alokasi tersebut telah merugikan hak atas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat yang seharusnya dijaga sebagai amanah negara. Pendekatan konstitusionalisme, seperti yang diuraikan dalam buku Law's Empire karya Ronald Dworkin, menekankan bahwa interpretasi konstitusi harus mencerminkan nilai-nilai dasar yang melindungi hak asasi manusia. Analisis ini mengintegrasikan prinsip hierarki peraturan dan konstitusionalisme guna menyusun dasar hukum yang konsisten. Secara keseluruhan, substansi perkara ini menuntut adanya penataan ulang regulasi untuk mencapai keadilan dan keberlanjutan lingkungan.

Pada dimensi pokok perkara point of view menyoroti substansi objectumlitis yang mengizinkan pertambangan di kawasan hutan menciptakan konflik antara eksploitasi ekonomi dan pelestarian lingkungan. Dalam Teori keadilan lingkungan sebagaimana dijelaskan dalam buku Dumping in Dixie: Race, Class, and Environmental Quality karya Robert Bullard menekankan bahwa perlindungan terhadap alam merupakan hak asasi yang harus dijamin oleh negara demi keberlangsungan hidup masyarakat. Selaras dengan teori akuntabilitas administratif, kegagalan dalam penyusunan regulasi menunjukkan kurangnya pertanggungjawaban dalam kebijakan tata ruang. Pendekatan teori hierarki perundang-undangan menuntut adanya keselarasan antara regulasi daerah dan undang-undang pusat, yang sayangnya belum terpenuhi dalam kasus ini. Teori partisipasi publik juga menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses pembentukan peraturan yang adil dan transparan. Berbagai pendapat ahli menegaskan bahwa keseimbangan antara eksploitasi sumber daya dan perlindungan lingkungan harus dibangun atas dasar kajian hukum yang komprehensif. Dengan demikian, konflik ini mengungkapkan ketidakseimbangan antara kepentingan ekonomi jangka pendek dan tanggung jawab hukum untuk menjaga keberlanjutan alam.

Telaah kritis terhadap Sintesis analisis putusan ini menyatukan lima teori hukum variatif, yaitu Stufhenbou Theory atau teori hierarki peraturan, konstitusionalisme, keadilan lingkungan, partisipasi publik, dan kepastian hukum dalam agenda penyeimbangan antara eksploitasi sumber daya dan konservasi alam. Hans Kelsen dalam Pure Theory of Law menekankan bahwa norma hukum yang lebih tertinggi (groundnorm) harus mendominasi norma yang lebih rendah guna menjaga integritas sistem hukum. Ronald Dworkin, melalui Law's Empire, menyatakan bahwa interpretasi konstitusi harus mencerminkan nilai-nilai dasar yang melindungi hak asasi manusia. Robert Bullard dalam Dumping in Dixie: Race, Class, and Environmental Quality menyoroti pentingnya keadilan lingkungan sebagai dasar perlindungan terhadap alam demi keberlangsungan hidup masyarakat. Bertalian dengan Jürgen Habermas melalui The Structural Transformation of the Public Sphere, menekankan peran vital partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan yang adil dan demokratis. Lebih dalam lagi, jika ditelaah dengan menggunakan perspektif H.L.A. Hart pada The Concept of Law mengingatkan bahwa kepastian hukum adalah prasyarat utama agar peraturan dapat melindungi hak-hak konstitusional dan mencegah kerugian lingkungan. Dengan demikian, putusan Mahkamah Agung ini berperan sebagai cermin kritis yang menolak legalitas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang merugikan lingkungan, sekaligus menekankan bahwa keabsahan kegiatan pertambangan harus selalu memenuhi prinsip-prinsip hukum yang baik demi kesejahteraan bersama.

Implikasi hukum yang timbul dari putusan ini menunjukkan bahwa setiap kebijakan harus memenuhi asas kejelasan, keterbukaan, dan kesesuaian dengan hierarki hukum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ketiadaan partisipasi publik dalam proses penyusunan peraturan menjadi sorotan utama, sesuai dengan teori partisipasi publik yang dibahas dalam buku The Structural Transformation of the Public Sphere karya Jürgen Habermas. Dengan demikian, keabsahan kegiatan pertambangan yang diatur oleh regulasi tersebut dipertanyakan karena tidak mencerminkan kepastian hukum yang seharusnya terjaga. Teori kepastian hukum, seperti yang dijelaskan dalam buku The Concept of Law karya H.L.A. Hart, menyatakan bahwa aturan hukum harus jelas, konsisten, dan dapat diandalkan guna melindungi hak-hak konstitusional dan mencegah kerugian lingkungan. Implikasi ini menuntut adanya revisi mendalam atas regulasi yang ada agar selaras dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan. Pendekatan konstitusionalisme juga mengharuskan setiap peraturan sejalan dengan UUD 1945, terutama Pasal 33 yang menjamin pengelolaan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, putusan ini menjadi landasan kritis untuk menilai kembali keabsahan kegiatan pertambangan di wilayah yang sangat rentan.

Olehnya guna menindaklanjuti putusan ini maka para pihak diharapkan melakukan revisi menyeluruh terhadap regulasi dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan dan keberlanjutan, khususnya dalam relasi lingkungan hidup, hak sipil dan kegiatan ektraktif dan pertambangan. Teori konstitusionalisme menyarankan agar setiap kebijakan daerah selalu disesuaikan dengan norma-norma konstitusional yang mengutamakan perlindungan sumber daya alam, sebagaimana dijelaskan dalam Law's Empire karya Ronald Dworkin. Pendekatan teori hierarki peraturan menuntut pemerintah daerah untuk meninjau ulang kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan hukum nasional melalui substansi materi perda yang tersegmentasi pada kewajiban menindaklanjuti atau tidak bertentangan dengan perundang-undangan lex superior. Penerapan teori partisipasi publik harus diperkuat dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam setiap tahap penyusunan peraturan guna menjaga legitimasi dan akuntabilitas. Teori kepastian hukum mengingatkan bahwa peraturan harus memberikan jaminan kepastian hukum bagi semua pihak, terutama dalam pengaturan kegiatan pertambangan yang berdampak luas, sesuai dengan pemaparan dalam The Concept of Law karya H.L.A. Hart. Langkah perbaikan juga mencakup penyusunan ulang naskah akademik sebagai dasar pembentukan peraturan yang transparan dan terukur. Dengan demikian, tindak lanjut putusan ini akan menetapkan keabsahan kegiatan pertambangan hanya jika tidak mengorbankan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.


Menganotasi Putusan Mahkamah Agung Nomor 57 P/HUM/2022

Masih dengan pola yang sama substansi Putusan ini menguji dimensi materiil Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Kepulauan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah lex specialist mengenai penyediaan kawasan hutan produksi untuk kegiatan pertambangan dan energi. Irisan legal issue putusan aquo diletakan pada dugaan pelanggaran prinsip tata ruang yang berorientasi pada keberlanjutan lingkungan dan perlindungan hak atas lingkungan bagi masyarakat. Secara normatif, peraturan daerah tersebut harus selaras dengan norma-norma hukum yang lebih tinggi mengingat keharusan yuiridis setiap local wet dalam kerangka perundang-undangan nasional. Peraturan Daerah terlimitasi oleh prinsip kepatuhan terhadap perundang-undangan lebih tinggi yang adigiumnya sudah dibutikan pada segmen pembahasan sebelumnya. Dalam konteks ini, putusan ini menjadi refleksi penting dari komitmen negara dalam mewujudkan keadilan dan ketahanan lingkungan. Dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan keputusan ini menyiratkan urgensi pembenahan tata kelola hukum di tingkat daerah. Disisi lain secara keseluruhan putusan ini menandakan titik balik dalam penataan tata ruang yang harus mengutamakan keberlanjutan demi kesejahteraan bersama.

Anotasi teoretik perihal substansi putusan ini menarik untuk diulas ketika argument kritisnya digabun beradasar pada kerangka legal theory. Pertama, tidak terseparasi dengan korespondensi peran negara hukum modern, karakterisitik Rule of Law tetap bertindak sebagai priemery perspective guna memaknai padanan substansi putusan aquo. Joseph Raz dalam The Authority of Law, menekankan bahwa setiap peraturan harus jelas (lex certa), dapat diprediksi, dan memiliki otoritas yang sah agar memberikan kepastian hukum yang berkeadilan kepada masyarakat. Dalam putusan ini anomaly ketidakjelasan dalam penyusunan Perda RTRW dinilai mengakibatkan ketidakpastian dalam pelaksanaan hukum yang pada akhirnya merugikan hak konstitusional warga. Prinsip ini sejalan dengan adigium “Law must be not only just but seen to be just,” yang menuntut transparansi dan kejelasan dalam proses legislasi. Kepastian hukum merupakan fondasi untuk menjamin perlindungan dan keadilan, sehingga setiap kebijakan harus memenuhi standar tersebut. Putusan ini menggarisbawahi pentingnya harmonisasi antara peraturan daerah dan norma hukum yang lebih tinggi agar tidak terjadi distorsi dalam penerapan hukum. Oleh karena itu, revisi regulasi menjadi keharusan untuk mengembalikan prinsip kepastian hukum yang telah terkikis. Dilain pihak namun masih dalam kerangka negara hukum khususnya pada era modern, Konstitusionalisme Ekologis muncul sebagai kerangka paradigmatic baru yang mengharuskan perlindungan lingkungan dijadikan bagian integral dari interpretasi konstitusi. Teori ini, yang banyak dibahas dalam literatur seperti The Green Constitution: Ecological Constitutionalism in Comparative Perspective yang menegaskan bahwa negara wajib menjamin hak atas lingkungan yang sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Putusan ini mencerminkan upaya pengadilan untuk menegakkan nilai-nilai tersebut, terutama di wilayah yang sangat rentan seperti Kabupaten Konawe Kepulauan. Dengan demikian, peraturan daerah yang memperbolehkan kegiatan pertambangan di kawasan hutan dipandang sebagai penyimpangan dari mandat konstitusional untuk melestarikan alam. Pendekatan ini menuntut agar kebijakan tata ruang sejalan dengan prinsip keberlanjutan dan keadilan lingkungan. Adigium “Sustainability is not a choice, but a duty,” nampaknya menegaskan nafas keberlanjutan lingkungan merupakan kewajiban moral dan hukum negara termasuk dalam skema legislasi local yang beridi diatas pijakan konstitusi. 

Lebih menarik lagi jika perspective diarahkan pada Pendekatan Legal Realism yang diintrodusir oleh Jerome Frank dalam karyanya Law and the Modern Mind. Proyeksi pemikiran ini menekankan bahwa penerapan hukum tidak semata-mata didasarkan pada norma tertulis, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi sosial dan praktis di lapangan. Menurut perspektif ini, dampak nyata peratutan terhadap kehidupan masyarakat harus menjadi pertimbangan utama dalam proses pengujian (control norm mechanisme). Sebagaimana dipahami, putusan ini mengungkapkan bahwa pelaksanaan peraturan yang memungkinkan kegiatan pertambangan di kawasan hutan membawa dampak merugikan bagi mata pencaharian masyarakat. Legal Realism menuntut agar hakim tidak hanya berpegang pada teks hukum akan tetapi juga mengintegrasikan fakta-fakta empiris dan konteks sosial ekonomi secara dinamis faktual. Hal ini menegaskan bahwa keberadaan peraturan yang cacat dapat menimbulkan efek destruktif jika tidak disertai evaluasi kontekstual yang mendalam.

Meskipun analisis sebelumnya menyoroti pentingnya partisipasi publik, pendekatan demokrasi partisipatif kali ini diambil dari perspektif teori demokrasi deliberatif yang dikemukakan oleh John Rawls dalam Political Liberalism. Teori ini menekankan bahwa legitimasi hukum berasal dari proses demokratis yang inklusif, di mana seluruh pemangku kepentingan memiliki kesempatan untuk berkontribusi dalam pembentukan kebijakan. Dalam konteks putusan ini, minimnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan Perda RTRW menjadi salah satu penyebab utama ketidakadilan yang dirasakan. Pendekatan ini menuntut bahwa proses legislasi harus transparan dan akuntabel, sehingga menghasilkan kebijakan yang representatif dan responsif terhadap kebutuhan rakyat. Adigium Audi alteram partem menjadi dasar yang menekankan bahwa setiap pihak yang berkepentingan harus didengar sebelum diambil keputusan. Dengan demikian, penerapan demokrasi partisipatif merupakan kunci untuk memperbaiki tata kelola hukum di tingkat daerah. Dimensi yang lebih substantif ditemukan jika padanan anotasi diletakan pada prinsip moralitas hukum. Diantara pendekatan yang konstruktif, sudut pandang yang dapat menelaah ialah teori internal morality of law yang dikemukakan oleh Lon Fuller dalam bukunya The Morality of Law. Fuller menekankan bahwa hukum harus memenuhi prinsip-prinsip seperti kejelasan, konsistensi, dan publicitas agar dapat diterapkan secara adil. Dalam konteks putusan ini, peraturan yang diuji dinilai cacat karena tidak memenuhi standar internal tersebut sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan masyarakat. Fiat justitia, ruat caelum yang mengandung makna "biarlah keadilan ditegakkan walaupun langit runtuh nampaknya senafas dengan pokok pikiran tersebut. Hal ini mencerminkan bahwa prosedur pembentukan hukum harus dilakukan secara teliti dan transparan. Dengan demikian, internal morality of law menjadi tolok ukur penting dalam menilai keabsahan peraturan daerah tersebut. Sehingga Secara keseluruhan, putusan ini menyatukan berbagai pendekatan teori hukum yang berbeda, yaitu internal morality of law (Lon Fuller), legal realism (Jerome Frank), konstitusionalisme ekologis, rule of law (Joseph Raz), dan demokrasi partisipatif (John Rawls). Setiap teori memberikan sudut pandang yang berbeda dalam menilai keabsahan dan dampak hukum tertentu, khususnya ketika dipadankan pada putusan ini., Namun secara dimensional fundalmentalistik, kesemuanya menekankan bahwa hukum harus dirumuskan dan diterapkan untuk melindungi kepentingan publik serta menjaga keberlanjutan lingkungan. Dengan demikian, putusan Mahkamah Agung ini menjadi momentum penting untuk mereformasi peraturan tata ruang secara menyeluruh, sehingga kebijakan yang dihasilkan tidak hanya sah secara normatif, tetapi juga adil dan berkelanjutan secara praktis. Reformasi ini diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan menjamin bahwa hak atas lingkungan yang sehat dan keberlanjutan alam diprioritaskan dalam setiap kebijakan pemerintah daerah. (*)